memakmurkan masjid:
Sungguhan atau Suguhan?
Sudah
menjadi rahasia umum, bila memasuki bulan suci ramadan Masjid menjadi ramai dan
meriah. Sejak hari pertama ramadan, masjid sudah dipenuhi dan dijejali dengan
masyarakat Islam, yang berduyun-duyun bersama keluarga dan handai taulan,
sahabat dan teman untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih. Hari-hari
berikutnya, hampir semua kegiatan yang berkaitan dengan ramadan dipusatkan di
masjid, sehingga masjid tidak lagi sepi dari kegiatan. Belum lagi
kegiatan-kegiatan ibadah lainnya, seperti shalat wajib hampir setiap waktu
jamaahnya bertambah. Tadarus al-Qur’an juga setiap saat selalu dilakukan oleh
masyarakat di Masjid. Bahkan banyak yang diorganisir melakukan tadarus
al-Qur’an setelah shalat Tarawih di Masjid.Kajian dan halaqah keislaman,
menambah masjid lebih elegan dan dan
makmur.
Ramadan
seolah menjadi magnit yang menarik umat untuk melakukan ibadah dengan
mengkonsentrasikan ibadahnya di masjid-masjid. Mulai dari dini hari sebelum
subuh, waktu dhuha, siang dan sore hari, bahkan malam hari.Masjid-masjid di
bulan mujahadah penuh berkah ini, seolah disulap menjadi ikon ramadan yang
tidak pernah sepi. Ghirah umat Islam terungkit dan bangkit, terusik dan naik ke
permukaan untuk menerjemahkan dan memanifestasikan eksistensi seorang hamba
kepada Rabb-nya. Ada sisi ‘isoterik’ yang sedang memancarkan aura
kesalihan dan ke’budi’an dalam
pelaksanaan ibadah ramadan, setelah lama ditinggalkan atau tidak dilakukan.
Kerinduan mendalam itu kemudian membuncah dalam bentuk-bentuk hampir tanpa
‘kesadaran’ kepada praktik-praktik ibadah yang khusyu dan tawadhu.
Semangat
dan ghirah ‘memakmurkan’ masjid ini semoga bukan hanya euforia
kegembiraan menyambut bulan suci ramadan. Karena tugas memakmurkan masjid
memang telah disematkan menjadi kewajiban orang-orang yang beriman. Dan orang
yang berpuasa di bulan ramadan ini adalah orang-orang yang beriman. Seperti
yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183, bahwa
khitab dan sasaran kewajiban puasa ramadan adalah orang yang beriman.
Bahkan
dalam surat al-Taubah ayat 18, Allah SWT secara spesifik memilih yang layak memakmurkan
masjid adalah orang yang beriman, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
‘takut’ kepada Allah SWT. Allah menyatakan, “Sesungguhnya (yang layak dan
pantas) memamurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak
takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Di
sisi lain Allah menegaskan, selain mereka tidak pantas dan layak memamurkan
masjid. Ibnu Abbas meriwayatkan, setelah Abbas ditawan dalam Perang Badar, ia
dicemooh oleh kaum muslimin dengan mengatakan dia kafir dan memutuskan
silaturrahim. Ali saat itu juga mengatakan kata-kata yang pedas dan menusuk
kepadanya. Abbas menanggapi dan menjawab cemoohan dan kata-kata pedas dan menusuk
itu dengan membanggakan perbuatan selama ini yang ikut berpartisipasi
memakmurkan Masjidil haram, memelihara Ka’bah dan memberi minum jamaah haji.
Tetapi Allah menjawab pernyataan Abbas itu dengan tegas, “Tidaklah pantas
orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa
mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam
neraka.” (QS. Al-Taubah: 17). Ketidaklayakan itu utamanya karena faktor
keimanan dan konsekwensi dari keimanan itu.
Keimanan,
keislaman dan ketakwaan merupakan dasar fundamental bagi kepantasan dan
kelayakan dalam memakmurkan masjid. Indikasi keimanan ditunjukkan oleh
keimanannya kepada Allah dan hari akhir; keislaman dibuktikan dengan
melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; serta ketaqwaan dilihat dari sikap
‘ketakutan’nya hanya kepada Allah, sehingga ketaatan dan kepatuhan kepada
perintah puasa di bulan ramadan dilakukannya dengan penuh keikhlasan.
Memakmurkan
masjid, dalam tafsir yang diterbitkan Kementerian Agama, dipahami sebagai upaya
membangun, mengurus dan menghidupkannya dengan amal ibadah yang diridai Allah.
Artinya, memakmurkan masjid bukan hanya membangun secara fisik dan mengurusnya,
bahkan yang lebih urgent dan fundamental adalah ‘menghidupkan’nya.
‘Membangun’
bukan semata dipahami secara fisik, tetapi juga membangun secara ruhiyyah
dengan ‘menghidupkan’ masjid dan ‘mengurus’nya. Demikian pula,
mengurus masjid, bukan semata secara fisik tetapi juga membangun ‘spiritualitas’
jamaahnya dengan ‘menghidupkan’ ruh masjid. Sehingga memakmurkan masjid dengan
membangun, mengurus dan menghidupkan, bukan semata dipahami secara fisik,
tetapi juga diinternaslisasi secara ruhiyah dengan spirit ‘mendapatkan rida
Allah SWT’.
Banyak
dasar-dasar keagamaan yang mengarah kepada pemahaman itu. Misalnya, dalam
riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Utsman bin Affan, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa
‘membangun’ masjid bagi Allah untuk mengharapkan keridaan-Nya, niscaya Allah
akan membangunkan baginya rumah dalam surga.” Dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi
juga bersabda, “Apabila kamu melihat seseorang membiasakan diri (beribadah)
di masjid, maka bersaksilah bahwa dia orang yang beriman.” (HR. Ahmad,
Tirmizi, Ibnu Majah dan Hakim). Anas ra. Juga meriwayatkan, “Barangsiapa
menyalakan penerangan lampu dalam masjid, niscaya para malaikat dan para
pembawa Arasy senantiasa memohon ampun kepada Allah agar diampuni dosanya
selama lampu itu bercahaya dalam masjid.” Bahkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, diceritakan Rasulullah suatu ketika
mencari si Ibu tua yang biasa membersihkan masjid. Setelah Rasulullah
mengetahui dia telah meninggal dunia, Rasulullah mendatangi kuburannya dan
menshalatinya. Percikan-percikan peran para shahabat terhadap masjid itu
mendapatkan penghargaan yang luar biasa dari Allah dan Nabi-Nya. Penghargaan
itu tentu bukan semata harus dipahami secara fisik, tetapi lebih dari itu
memiliki nilai-nilai ilahiyyah dan ruhiyyah yang tiada bandingnya.
Berbeda
dengan zaman sekarang, secara fisik Rasulullah membangun masjid dengan sangat
sederhana. Beliau membangun masjid hanya dengan batu bata dan atap daun kurma,
dengan semangat taqwa kepada Allah. Beliau bukan tidak mampu mendirikan masjid
yang megah. Masyarakat madinah yang kaya pada waktu itu memiliki rumah mewah
sesuai dengan zamannya. Mereka ingin membantu Nabi membangun masjid bahkan yang
lebih mewah dan megah dari rumah-rumahnya. Tetapi Rasulullah menolak dan tetap
mempertahankan kesederhanaan dan kesahajaannya.
Meskipun
dengan kesederhanaan dan kesahajaannya itu, masjid Rasulullah memiliki fungsi ‘krusial’
dan ‘vital’ yang membentuk dan mencetak generasi taqwa yang tak
terbantahkan, melahirkan generasi tauhidi yang tak terbandingkan. Sesuai dengan
awal berdirinya masjid Rasulullah itu, terlihat fungsi masjid adalah untuk
pembinaan aqidah dan akhlaq bagi jamaahnya, sehingga melahirkan insan ‘mumpuni’
yang dikagumi oleh kawan maupun lawan. Memunculkan generasi yang ‘menggetarkan’
dunia sekaligus ‘mengharukan’ dan mengagumkan budi akhlaq, keikhlasan
dan ketawadhuaannya, semangat dan tekadnya. Kemudian dalam perkembangannya
masjid ini juga berfungsi untuk pengembangan ilmu dan peradaban, pembinaan
sosial dan pemberdayaan ekonomi umat.
Karena
itu, memamurkan masjid tidak boleh lepas dari fungsinya untuk pembinaan aqidah,
pembinaan akhlaq, pengembangan ilmu dan peradaban, pembinaan sosial dan
pemberdayaan ekonomi umat. Sehingga masjid difungsikan untuk kegiatan ibadah,
belajar dan bermusyawarah bagi kepentingan kaum muslimin.
Pada
zaman Bani Umayah dan Abbasiyah, Masjid memiliki perkembangan yang sangat
progresif. Ia bukan saja berfungsi sebagai ikon sebuah negara, tetapi bahkan
menjadi magnit bagi para ‘pemburu’ ilmu pengetahuan. Pada waktu itu,
masjid dipenuhi dengan berbagai halaqah-halaqah ilmu pengetahuan; halaqah
tafsir, halaqah hadits, halaqah kalam dan sebagainya. Bahkan dalam satu masjid
terdapat juga banyak halaqah dengan berbagai madzhab. Dan itu bukan sesuatu
yang aneh.
Sekarang,
pemandangan itu juga bisa dilihat di Masjidil Haram, yang dalam waktu-waktu tertentu
masih hidup halaqah-halaqah peradaban yang membahas ilmu-ilmu keislaman dalam
berbagai madzhab fiqh maupun madzhab kalam, bahkan ilmu-ilmu yang lainnya.
Dalam
konteks Indonesia, sekarang fungsi masjid banyak yang tereduksi oleh
kepentingan dunia. Sehingga yang nampak fungsi masjid didominasi oleh pembinaan
ibadah. Munculnya berbagai kasus ‘asusila’, degradasi moral, vandalisme,
korupsi dan pelanggaran moral yang lain menunjukkan betapa fungsi masjid dalam
pembinaan akhlaq telah tereduksi. Mungkin juga sepinya masjid, kurang
kepedulian jamaah terhadap ‘kemakmuran’ masjid, susahnya sedekah dan infaq,
bahkan zakat mal, bisa jadi muaranya karena ‘kurang’ berfungsinya masjid dalam
menjawab tantangan zaman. Sementara seiring dengan itu, masyarakat berlomba-lomba
membangun masjid dengan begitu megah dan mewahnya.
Rasulullah
telah meramalkan kelak masjid-masjid yang didirikan oleh umat Islam akan jauh
lebih mewah dari pada yang didirikan oleh beliau sendiri dan para sahabatnya.
Sementara fungsi masjid semakin tereduksi, sehingga kemakmuran masjid menjadi
terabaikan. Memakmurkan masjid hanya sebatas pelaksanaan ibadah, dengan ‘agak’
mengabaikan pembinaan aqidah dan akhlaq serta ilmu keislaman yang dulu pernah
menjadi ikon peradaban umat Islam. Ramalan itu secara eksplisit didiskripsikan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abu Sa’id. Rasulullah
bersabda, “Bila masjid-masjid kamu dihias dengan mewah dan mushaf kamu
dihias dengan indah, pastilah kehancuran akan menimpamu.”
Ramalan
ini memberikan indikasi, masjid yang telah tereduksi fungsinya oleh kepentingan
dunia yang dilakukan oleh jamaah dalam memakmurkan masjid, dan hanya
memperhatikan dan berkonsentrasi pada aspek bangunan secara fisik saja, maka
sesungguhnya oleh Rasulullah disinyalir sebagai tanda dan isyarat saatnya akan
muncul kehancuran dalam masyarakat.
Fenomena
ramadan yang selalu menjadi magnit bagi kemakmuran masjid memunculkan sebuah
pertanyaan, berkaitan dengan fungsi masjid yang ideal di atas. Bila kemakmuran
masjid pada ramadan kali ini, hanya berlangsung pada saat ramadan saja dan
hilang bersamaan dengan berlalunya ramadan, ia tak ubahnya seperti sebuah
‘suguhan’ yang disuguhkan oleh umat Islam kepada sang tamu yang bernama
ramadan. Jadi, aktifitas qiyamullail setiap malam, qira’atul qur’an setiap
saat, shalat wajib setiap waktu shalat dengan jamaah yang berjubel,
halaqah-halaqah ilmu yang membanjir, I’tikaf dan sebagainya, yang muncul pada
ramadan ini bisa jadi hanya ‘suguhan’ saja kepada ramadan, bila tidak mampu
mempertahankannya pada bulan-bulan selanjutnya.
Tetapi
bila kemakmuran masjid yang kita rasakan pada ramadan kali merupakan potret dan
wajah masjid secara real, dengan menampilkan banyak program sebagai manifestasi
dari fungsi masjid dalam memakmurkan masjid, yang berlangsung setiap saat dan
setiap hari, bukan musiman yang hanya ‘ramai’ dan ‘meriah’ pada ramadan saja,
maka inilah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid yang sesungguhnya. Ia
merupakan memakmurkan masjid ‘sungguhan’ bukan ‘suguhan’.
Kita berharap dan mendambakan fenomena kemakmuran masjid pada ramadan ini, sebagai potret masjid yang sesungguhnya, memakmurkan masjid sungguhan, yang berfungsi seperti pertama kali dibangun oleh Nabi, sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, yang dapat mempengaruhi bagi kehidupan sosial keagamaan, ekonomi, politik dan peradaban. Semoga!
Komentar
Posting Komentar