INFAQ FI SABILILLAH

OLEH : ZA'IM FATHONI AFWAN

     Pasca sukses melakukan hijrah dari Makkah al-Mukarromah   menuju  kota Yatsrib, yang kemu
dian  dikenal dengan  Madinah al-Munawwarah, Rasulullah Saw. berkeinginan melakukan umrah bersama para sahabatnya.

Cukup lama Nabi menanti saat-saat dapat mengunjungi Baitullah itu. Enam tahun setelah sukses hijrah ke Madinah beliau menunggu saat yang tepat mengobati rindu ke Baitullah, berumrah di sana. Maka bersama para sahabatnya beliau meninggalkan Madinah menuju Makkah untuk mengerjakan umrah.  Setelah rombongan itu sampai dii Hudaibiyah, mereka dihalangi oleh kaum musyrik dan tidak dibolehkan memasuki kota Makkah, sehingga rombongan Rasulullah Saw. terpaksa berada di Hudaibiyah selama satu bulan lamanya. Akhirnya diadakan perjanjian damai yang dikenal dalam sejarah sebagai perjanjian Hudaibiyah. Isinya antara lain:

Pertama, rombongan Rasulullah Saw. harus pulang kembali ke Madinah pada tahun itu. Kedua, pada tahun berikutnya, yaitu tahun ketujuh hijri, Rasulullah dan para sahabatnya diperkenankan memasuki Kota Makkah, untuk mengerjakan umrah. Dan ketiga, di antara kaum musyrikin dan Muslimin tidak akan ada peperangan selama sepuluh tahun.

Pada tahun berikutnya, Rasulullah berangkat kembali ke Makkah dengan rombongan untuk mengerjakan umrah (umrah qadha’). Tetapi pada waktu itu kaum muslimin khawatir kalau-kalau kaum musyrikin melanggar janji perdamaian tersebut, sedang kaum muslimin tidak senang berperang di tanah Haram (Makkah) apalagi di bulan Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah dan Muharram yang biasa disebut dengan “bulan-bulan haram”. Di samping itu mereka juga tidak mempersiapkan peralatan perang menghadapi kaum musyrikin. Kekhawatiran kaum muslimin itu kemudian dijawab oleh Allah SWT. dengan turunnya surat Ali Imran ayat 190 sampai 194..

Pada ayat-ayat itu, Allah memerintahkan kaum muslimin memerangi kaum musyrikin yang memerangi mereka. Mereka juga diizinkan perang di tanah haram bila orang-orang kafir itu menyerang dan memeranginya.

Perang ini hendaklah bertujuan fi sabilillah, untuk meninggikan kalimah Allah dan menegakkan dinNya. Seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui Abu Musa al-Asy’ary. Rasulullah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berperang karena keberaniannya, karena sakit hati, atau karena ingin mendapatkan pujian saja. Rasulullah menjawab, “Orang yang berperang untuk meninggikan kalimah Allah maka berperangnya itu fi sabilillah.”

Akhirnya, kaum muslimin sebelum berangkat umrah mempersiapkan dulu angkatan perangnya. Umat Islam waktu itu diseru untuk berinfaq fi sabilillah, membelanjakan hartanya untuk berjihad fi sabilillah dan dilarang menjatuhkan dirinya ke dalam jurang kebinasaan karena kebakhilannya. Jika suatu kaum menghadapi peperangan sedangkan mereka kikir, tidak mau membiayai peperangan itu, maka perbuatannya itu berarti membinasakan diri mereka sendiri. Karena persiapan yang minim bisa menyebabkan kekalahan dan umat Islam selalu terjajah dan terhina, terpinggirkan.

Menghadapi jihad dengan tidak ada persiapan serta persediaan yang lengkap dan berjihad bersama-sama dengan orang-orang yang lemah iman dan kemauannya, niscaya akan membawa kepada kebinasaan. Dalam hal ini infaq fi sabilillah  orang harus mempunyai niat yang baik, agar dengan demikian ia akan selalu memperoleh pertolongan Allah.

Peristiwa ini telah menunjukkan kepada umat, bahwa infaq memiliki peran solutif dan strategis bagi kekuatan ummat untuk menghindari kebinasaan.

Allah berfirman,

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٩٥﴾

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah 2: 195)

Sekiranya umat Islam pada saat itu tidak berinfaq, maka peperangan yang mereka lakukan hampir mustahil mencapai keberhasilan. Kegagalan meraih ke- menangan sama halnya dengan mengukuhkan keadaanya yang terjajah dan dikuasai kafir musyrik. Keadaan seperti itulah, “tahlukah/kebinasaan” yang harus dihindari oleh umat Islam waktu itu de- ngan menggelorakan infaq untuk meme- nuhi kebutuhan persiapan perang.

Kalau sekarang, apa tahlukah yang akan mengancam kehidupan umat?

Konteks ayat di atas tahlukah yang dimaksud adalah kekalahan dalam peperangan, keadaan terjajah dan ter-  pinggirkan, kedudukan yang direndahkan dan dilecehkan, maka sekarang tahlukah bentuknya lebih kompleks lagi, yang meliputi setiap sisi dan sudut kehidupan umat Islam. Melibatkan tidak saja orang dewasa, malah telah mengarah kepada generasi muda, bahkan generasi belia  dan balita.

Pertama, fenomena ‘orang gila’ yang menyerang tokoh-tokoh Islam dan dai-dai muda, memberikan indikasi perlawanan represif sedang ditunjukkan oleh kelompok atau pihak yang ingin menghapus peranan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu ini sangat merugikan umat Islam, karena akan menghantarkan kepada ‘krisis dai’. Apalagi sekarang kita juga mengalami ‘kelangkaan dai’.

Kedua, fenomena generasi muda Islam yang lebih digelimangi oleh HP, dan game dibanding al-Qur’an. Hampir setiap saat, mereka tidak jauh dari HP dan game. Maka HP dan game bisa menjadi tahlukah bagi generasi muda Islam. Perlu ada upaya nyata untuk mendekatkan generasi muda Islam dengan al-Qur’an.

Ketiga, fenomena ‘hiburan’ yang disukai oleh generasi muda Islam. TV merupakan media yang dapat menjauhkan generasi muda dari al-Qur’an. Cafe dan tempat ‘nongkrong anak muda’ lebih digandrungi dari pada masjid. Tinggal di masjid, belajar ‘ngaji’ di dalamnya, menjadi asing pada zaman now ini. Akhirnya, masjid menjadi sepi. Sampai ada yang bilang masjid seolah menjadi (maaf} ‘rumah hantu’ yang menakutkan bila telah memasuki gelapnya malam hari.

Coba perhatikan masjid-masjid di sekeliling kita! Adakah tempat ibadah itu menjadi sentra bagi anak muda Islam? Kemana mereka ketika adzan dikumandangkan? Kemana mereka ketika kajian, pengajian atau kegiatan lain diadakan di Masjid?

Fenomena ini merupakan indikasi bahwa kita telah berada pada ujung tahlukah? Bagaimana mengatasinya?

Pertama, harus ada upaya untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan ghirah Islam terhadap generasi muda yang menghantarkan mereka menjadi dai-dai unggul dalam umat Islam. Kaderisasi adalah kata kuncinya. Proses kaderisasi ulama yang paling tepat saat ini adalah pondok pesantren. Jadi harus ada upaya mendorong mereka mau memasuki dunia pesantren.

Kedua, upaya nyata yang memancing generasi muda mencintai masjid dan senang memakmurkan masjid. Agar tidak ada kesan masjid itu ‘angker’. Aktifitas yang dapat ditawarkan, misalnya hifdzul Qur’an, kajian al-Islam, qiyamullail, dan bermalam di masjid. Menggelorakan memamurkan masjid itu keren, menginap di masjid itu asyik dan rindu masjid itu hebat dan smart, menjadi suatu keniscayaan.

Semua program di atas tentu membutuhkan dana. Dari mana dananya? Infaq fi sabilillah memiliki peran solutif yang akan menjawabnya. Karena itu, sekarang infaq harus  produktif, yang mampu menghasilkan kader-kader Islam yang handal sebagai generasi Hawari.

Bila umat Islam tergerak kesadarannya untuk berinfaq minimal Rp. 2000 perhari, setiap bulan akan terkumpul Rp. 60.000. Bila munfiqnya 100 orang, maka akan terkumpul Rp. 6 juta dalam sebulan. Bagaimana kalau munfiqnya sampai 500 orang, maka yang akan terkumpul dalam satu bulan Rp. 30 juta. Setahun menjadi Rp. 360 juta. Fantastis bukan! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini